2/3.7 Ekonomi
Indonesia setiap periode pemerintahan, orde lama, orde baru, reformasi
1. Pemerintahan
Orde Lama
Sejak berdirinya negara Republik Indonesia, banyak sudah
tokok-tokoh negara saat itu telah merumuskan bentuk perekonomian yang tepat
bagi bangsa Indonesia, baik secara individu maupun diskusi kelompok.
Sebagai contoh, Bung Hatta sendiri, semasa hidupnya mencetuskan
ide, bahwa dasar perekonomian Indonesia yang sesuai dengan cita-cita tolong
menolong adalah koperasi, namun bukan berarti semua kegiatan ekonomi harus
dilakukan secara koperasi.
Demikian juga dengan tokoh ekonomi Indonesia saat itu, Sumitro
Djojohadikusumo, dalam pidatonya di Amerika tahun 1949, menegaskan bahwa yang
dicita-citakan adalah semacam ekonomi campuran. Namun demikian dalam proses
perkembangan berikutnya disepakatilah suatu bentuk ekonomi yang baru, dinamakan
sebagai Sistem Ekonomi Pancasila, yang didalamnya mengandung unsur
pentinga yang disebut Demokrasi Ekonomi. Terlepas dari sejarah yang akan
menceritakan yang akan mencerminkan keadaan yang sesungguhnya pernah terjadi di
Indonesia, maka menurut UUD’45, sistem perekonomian Indonesia tercermin dalam
pasal-pasal 23, 27, 33. Dan 34.
Demokrasi Ekonomi dipilih, karena mempunyai ciri-ciri positif yang
diantaranya adalah (Suroso, 1993) :
a)
Perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
b)
Cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak,
dikuasai oleh negara.
c)
Bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
d)
Sumber-sumber
kekayaan dan keuangan negara digunakan dengan pemufakatan lembaga-lembaga
perwakilan rakyat, serta pengawasan terhadap kebijaksanaannya ada pada
lembaga-lembaga perwakilan pula.
e)
Warga negara
memiliki kebebasan dalam memilih pekerjaan yang dikehendaki serta mempunyai hak
akan pekerjaan dan penghidupan yang layak.
f)
Hak milik
perorangan diakui dan pemanfaatnnya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan
masyarakat.
g)
Potensi,
inisiatif dan daya kreasi setiap warga negara dikembangkan sepenuhnya dalam
batas-batas yang tidak merugikan kepentingan umum.
h)
Fakir miskin
serta anak terlantar, dipelihara oleh pemerintah.
Sistem
perekonomian di Indonesia sangat menentang adanya sistem Free Fight
Liberalism, Etatisme (Ekonomi Komando) dan Monopoli, karena sistem ini memang
tidak sesuai dengan sitem ekonomi yang dianut Indonesia (bertentangan).
a.
Free fight
liberalism : Sistem kebebasan usaha yang tidak terkendali,
sistem ini dianggap tidak cocok dengan kebudayaan Indonesia dan berlawanan
dengan semangat gotong-royong yang tercantum dalam UUD 1945 Pasal
33, dan dapat mengakibatkan semakin besarnya jurang pemisah antara
yang kaya dengan yang miskin.
b.
Etatisme
: Suatu paham dalam pemikiran politik yang
menjadikan negarasebagai
pusat segala kekuasaan. Negara adalah sumbu yang menggerakkan seluruh elemen
politik dalam suatu jalinan rasional, yang dikontrol secara ketat dengan
menggunakan instrumen kekuasaan. Keikutsertaan pemerintah yang terlalu dominan
juga dapat mematikan motivasi dan kreasi dari masyarakat untuk dapat berkembang
dan bersaing sehat.
c.
Monopoli
: suatu bentuk pemusatan ekonomi pada satu kelompok tertentu, sehingga
tidak memberikan pilihan lain pada konsumen untuk tidak mengikuti keinginan
sang monopoli.
Meskipun
pada awal perkembangan perekonomian Indonesia menganut sistem ekonomi
pancasila, ekonomi Demokrasi, dan ‘mungkin campuran’, namun bukan berarti
sistem perekonomian liberalis dan etatisme tidak pernah terjadi di Indonesia.
Awal tahun1950-an sampai dengan tahun 1957-an merupakan bukti sejarah adanya
corak liberalis dalam perekonomian Indonesia. Demikian juga dengan sistem
etatisme, pernah juga memberi corak perekonomian di tahun 1960-an sampai
dengan pada masa orde baru.
2. Pemerintahan
Orde Baru
Orde Baru adalah sebutan bagai masa pemerintahan Presiden Soeharto.
Orde Baru menggantikan pemerintahan Orde Lama yang di pimpin oleh Soekarno. Orde
Baru berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut,
ekonomi Indonesia berkembang pesat meski hal ini dibarengi praktek korupsi yang
merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan
miskin juga semakin melebar. Pada 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto
untuk masa jabatan 5 tahun sebagai presiden, dan dia kemudian dilantik kembali
secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998. Politik
Presiden Soeharto memulai "Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia
dan secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan
yang ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya. Salah satu kebijakan pertama
yang dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia menjadi anggota PBB lagi.
Indonesia pada tanggal 19 September1966 mengumumkan
bahwa Indonesia "bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan
melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB", dan menjadi anggota
PBB kembali pada tanggal 28 September 1966,
tepat 16 tahun setelah Indonesia diterima pertama kalinya. Pada tahap awal,
Soeharto menarik garis yang sangat tegas. Orde Lama atau Orde Baru. Pengucilan
politik - di Eropa
Timur sering disebut lustrasi -
dilakukan terhadap orang-orang yang terkait dengan Partai
Komunis Indonesia. Sanksi kriminal dilakukan dengan menggelar Mahkamah
Militer Luar Biasa untuk mengadili pihak yang dikonstruksikan Soeharto sebagai
pemberontak. Pengadilan digelar dan sebagian dari mereka yang terlibat
"dibuang" ke Pulau Buru. Presiden
Soeharto memulai "Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara
dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang
ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya. Orde Baru memilih perbaikan dan
perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui
struktur administratif yang didominasi militer namun dengan nasehat dari ahli
ekonomi didikan Barat. DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya
bahkan seringkali dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat
dengan Cendana. Hal ini mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar
oleh pusat. Pembagian PAD juga kurang adil karena 70% dari PAD tiap provinsi
tiap tahunnya harus disetor kepada Jakarta, sehingga melebarkan jurang
pembangunan antara pusat dan daerah. Selama masa pemerintahannya,
kebijakan-kebijakan ini, dan pengeksploitasian sumber daya alam secara
besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di
Indonesia. Contohnya, jumlah orang yang kelaparan dikurangi dengan besar pada
tahun 1970-an dan 1980-an. Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi.
Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga negara asing di
Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak
langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai secara
terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang,
meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas china indonesia terutama
dari komunitas pengobatan china tradisional karena pelarangan sama sekali akan
berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa di tulis dengan
bahasa mandarin. Mereka pergi hingga ke Makhamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung
indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa china indonesia bejanji
tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan
Indonesia. Untuk keberhasilan ini kita mesti memberi penghormatan bagi Ikatan
Naturopatis Indonesia ( I.N.I ) yang anggota dan pengurus nya pada waktu itu
memperjuangkan hal ini demi masyarakat china indonesia dan kesehatan rakyat
indonesia. Hingga china indonesia mempunyai sedikit kebebasan dalam menggunakan
bahasa Mandarin. Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan
terbit adalah Harian Indonesia yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa
Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh militer indonesia dalam hal ini
adalah ABRI meski beberapa orang china indonesia bekerja juga di sana. Agama
tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan
pemerintah. Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya
ketika itu mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia
dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air. Padahal,
kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang,
yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh komunisme, yang
sangat mengharamkan perdagangan dilakukan. Orang Tionghoa dijauhkan dari
kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih untuk menghindari dunia
politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.
Kelebihan
sistem Pemerintahan Orde Baru
a.
Perkembangan
GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada 1996 telah
mencapai lebih dari AS$1.000
b.
Sukses
transmigrasi
c.
Sukses KB
d.
Sukses memerangi
buta huruf
e.
Sukses
swasembada pangan
f.
Pengangguran
minimum
g.
Sukses REPELITA
(Rencana Pembangunan Lima Tahun)
h.
Sukses Gerakan
Wajib Belajar
i.
Sukses Gerakan
Nasional Orang-Tua Asuh
j.
Sukses keamanan
dalam negeri
k.
Investor asing
mau menanamkan modal di Indonesia
l.
Sukses
menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri.
Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde Baru
a.
Semaraknya
korupsi, kolusi dan nepotisme
b.
Pembangunan
Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan antara pusat
dan daerah, sebagian lagi disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar
disedot ke pusat.
c.
Munculnya rasa
ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan terutama di
Aceh dan Papua.
d.
Kecemburuan
antara penduduk setempat dengan para transmigran yang memperoleh tunjangan
pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertannya.
e.
Bertambahnya
kesenjangan sosial diakibatkan karena perbedaan pendapatan yang tidak merata
bagi yang kaya dan yang miskin.
f.
Pelanggaran HAM
kepada masyarakat non pribumi (terutama masyarakat Tionghoa).
g.
Kritik
dibungkam dan oposisi diharamkan.
h.
Kebebasan pers
sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibredel.
i.
Penggunaan
kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program “penembakan
misterius”.
j.
Tidak ada
rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden selanjutnya).
k.
Menurut
kualitas birokrasi Indonesia yang terjangkit penyakit ‘Asal Bapak Senang’, hal
ini adalah kesalahan paling fatal Orde Baru karena tanpa birokrasi yang efektif
negara pasti hancur.
l.
Menurunnya
kualitas tentara karena level elit terlalu sibuk berpolitik sehingga kurang
memperhatikan kesejahteraan anak buah.
Pada pertengahan 1997, Indonesia diserang krisis keuangan dan
ekonomi Asia (untuk lebih jelas lihat: Krisis finansial Asia), disertai kemarau
terburuk dalam 50 tahun terakhir dan harga minyak, gas dan komoditas ekspor
lainnya yang semakin jatuh. Rupiah jatuh, inflasi meningkat tajam, dan
perpindahan modal dipercepat. Para demonstran, yang awalnya dipimpin para mahasiswa,
meminta pengunduran diri Soeharto. Di tengah gejolak kemarahan massa yang
meluas, Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, tiga bulan setelah MPR
melantiknya untuk masa bakti ketujuh. Soeharto kemudian memilih sang Wakil
Presiden, B. J. Habibie, untuk menjadi presiden ketiga Indonesia.
Penyebab utama runtuhnya kekuasaan Orde Baru adalah adanya krisis
moneter tahun 1997. Sejak tahun 1997 kondisi ekonomi Indonesia terus memburuk
seiring dengan krisis keuangan yang melanda Asia. Keadaan terus memburuk. KKN
semakin merajalela, sementara kemiskinan rakyat terus meningkat. Terjadinya
ketimpangan sosial yang sangat mencolok menyebabkan munculnya kerusuhan sosial.
Muncul demonstrasi yang digerakkan oleh mahasiswa. Tuntutan utama kaum
demonstran adalah perbaikan ekonomi dan reformasi total. Demonstrasi
besar-besaran dilakukan di Jakarta pada tanggal 12 Mei 1998. Pada saat itu
terjadi peristiwa Trisakti, yaitu me-ninggalnya empat mahasiswa Universitas
Trisakti akibat bentrok dengan aparat keamanan. Empat mahasiswa tersebut adalah
Elang Mulya Lesmana, Hery Hariyanto, Hendriawan, dan Hafidhin Royan. Keempat
mahasiswa yang gugur tersebut kemudian diberi gelar sebagai “Pahlawan
Reformasi”. Menanggapi aksi reformasi tersebut, Presiden Soeharto berjanji akan
mereshuffle Kabinet Pembangunan VII menjadi Kabinet Reformasi. Selain itu juga
akan membentuk Komite Reformasi yang bertugas menyelesaikan UU Pemilu, UU
Kepartaian, UU Susduk MPR, DPR, dan DPRD, UU Antimonopoli, dan UU Antikorupsi.
Dalam perkembangannya, Komite Reformasi belum bisa terbentuk karena 14 menteri
menolak untuk diikutsertakan dalam Kabinet Reformasi. Adanya penolakan tersebut
menyebabkan Presiden Soeharto mundur dari jabatannya. Mundurnya Soeharto dari
jabatannya pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tanda akhirnya Orde Baru,
untuk kemudian digantikan "Era Reformasi".
3. Pemerintahan
Transisi
Krisis finansial Asia yang menyebabkan ekonomi Indonesia melemah
dan semakin besarnya ketidak puasan masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan
pimpinan Soeharto saat itu menyebabkan terjadinya demonstrasi besar-besaran
yang dilakukan berbagai organ aksi mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia. Pemerintahan
Soeharto semakin disorot setelah Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998 yang
kemudian memicu Kerusuhan Mei 1998 sehari setelahnya. Gerakan mahasiswa pun
meluas hampir diseluruh Indonesia. Di bawah tekanan yang besar dari dalam
maupun luar negeri, Soeharto akhirnya memilih untuk mengundurkan diri dari
jabatannya. Pemerintahan transisi merupakan peralihan antara pemerintahan zaman
Soeharto ke pemerintahan B.J. Habibie.
4. Pemerintahan
Reformasi
Pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto mengundurkan diri dari
jabatannya sebagai presiden RI dan menyerahkan jabatannya kepada wakil presiden
B.J. Habibie. Peristiwa ini menandai berakhirnya kekuasaan Orde Baru dan
dimulainya Orde Reformasi. Sidang Istimewa MPR yang mengukuhkan Habibie sebagai
Presiden, ditentang oleh gelombang demonstrasi dari puluhan ribu mahasiswa dan
rakyat di Jakarta dan di kota-kota lain. Gelombang demonstrasi ini memuncak
dalam peristiwa Tragedi Semanggi, yang menewaskan 18 orang. Masa pemerintahan
Habibie ditandai dengan dimulainya kerjasama dengan Dana Moneter Internasional
untuk membantu dalam proses pemulihan ekonomi. Selain itu, Habibie juga melonggarkan
pengawasan terhadap media massa dan kebebasan berekspresi. Presiden BJ Habibie
mengambil prakarsa untuk melakukan koreksi. Sejumlah tahanan politik
dilepaskan. Sri Bintang Pamungkas dan Muchtar Pakpahan dibebaskan, tiga hari
setelah Habibie menjabat. Tahanan politik dibebaskan secara bergelombang.
Tetapi, Budiman Sudjatmiko dan beberapa petinggi Partai Rakyat Demokratik baru
dibebaskan pada era Presiden Abdurrahman Wahid. Setelah Habibie membebaskan
tahanan politik, tahanan politik baru muncul. Sejumlah aktivis mahasiswa
diadili atas tuduhan menghina pemerintah atau menghina kepala negara. Desakan
meminta pertanggungjawaban militer yang terjerat pelanggaran HAM tak bisa
dilangsungkan karena kuatnya proteksi politik. Bahkan, sejumlah perwira militer
yang oleh Mahkamah Militer Jakarta telah dihukum dan dipecat karena terlibat
penculikan, kini telah kembali duduk dalam jabatan struktural. Ketika Habibie
mengganti Soeharto sebagai presiden tanggal 21 Mei 1998, ada lima isu terbesar
yang harus dihadapinya, yaitu:
a.
Masa depan
Reformasi;
b.
Masa depan
ABRI;
c.
Masa depan
daerah-daerah yang ingin memisahkan diri dari Indonesia;
d.
Masa depan
Soeharto, keluarganya, kekayaannya dan kroni-kroninya; serta
e.
Masa depan
perekonomian dan kesejahteraan rakyat.
Berikut
ini beberapa kebijakan yang berhasil dikeluarkan B.J. Habibie dalam rangka
menanggapi tuntutan reformasi dari masyarakat.
1.
Kebijakan dalam
bidang politik
Reformasi dalam
bidang politik berhasil mengganti lima paket undang-undang masa Orde Baru
dengan tiga undang-undang politik yang lebih demokratis. Berikut ini tiga
undang-undang tersebut.
a.
UU No. 2 Tahun
1999 tentang partai politik
b.
UU No. 3 Tahun
1999 tentang Pemilihan Umum.
c.
UU No. 4 Tahun
1999 tentang Susunan dan Kedudukan DPR/MPR.
2.
Kebijakan dalam
bidang ekonomi
Untuk
memperbaiki perekonomian yang terpuruk, terutama dalam sektor perbankan,
pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Selanjutnya
pemerintah mengeluarkan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli
dan Persaingan Tidak Sehat, serta UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen.
3. Kebebasan
menyampaikan pendapat dan pers
Kebebasan
menyampaikan pendapat dalam masyarakat mulai terangkat kembali. Hal ini
terlihat dari munculnya partai-partai politik dari berbagai golongan dan
ideologi. Masyarakat bisa menyampaikan kritik secara terbuka kepada pemerintah.
Di samping kebebasan dalam menyatakan pendapat, kebebasan juga diberikan kepada
pers. Reformasi dalam pers dilakukan dengan cara menyederhanakan permohonan
Surat Izin Usaha Penerbitan (SIUP).
4.Pelaksanaan
Pemilu
Pada masa
pemerintahan Habibie, berhasil diselenggarakan pemilu multipartai yang damai
dan pemilihan presiden yang demokratis. Pemilu tersebut diikuti oleh 48 partai
politik. Keberhasilan lain masa pemerintahan Habibie adalah penyelesaian
masalah Timor Timur. Usaha Fretilin yang memisahkan diri dari Indonesia
mendapat respon. Pemerintah Habibie mengambil kebijakan untuk melakukan jajak
pendapat di Timor Timur. Referendum tersebut dilaksanakan pada tanggal 30
Agustus 1999 di bawah pengawasan UNAMET. Hasil jajak pendapat tersebut
menunjukkan bahwa mayoritas rakyat Timor Timur lepas dari Indonesia. Sejak saat
itu Timor Timur lepas dari Indonesia. Pada tanggal 20 Mei 2002 Timor Timur
mendapat kemerdekaan penuh dengan nama Republik Demokratik Timor Leste dengan
presidennya yang pertama Xanana Gusmao dari Partai Fretilin.
SUMBER:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar